Terinspirasi
dari perkuliahan filsafat ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit, MA pada:
Hari,
tanggal : Kamis, 2 Oktober 2014
Pukul : 07.30 – 09.10
Tempat : Ruang 306 B Gedung Lama PPs UNY
Dalam pembelajaran
matematika di sekolah, dikenal operasi matematika seperti penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan pembagian. Pada umumnya untuk operasi penjumlahan, a + b
= c. Misalnya 2 + 3 akan menghasilkan
5. Begitu juga dalam operasi perkalian, a
x b = ab. Misal 2 x 3 = 6. Operasi matematika seperti contoh di atas
merupakan operasi matematika dalam pembelajaran. Secara filsafat, terdapat
sudut pendang yang berbeda dalam menentukan hasil operasi matematika. Berikut akan
disajikan beberapa sudut pandang dalam menentukan hasil operasi matematika.
Operasi matematika
dalam matematika memberikan berbagai hasil karena tergantung basis yang
digunakan. Sebagai contoh, 2 + 3 hasilnya belum tentu 5. Apabila operasi
penjumlahan itu menggunakan basis 4, maka tidak ada 5. 2 + 3 dalam basis 4 akan
menghasilkan 1 (belum tentu 5). Begitu juga dengan operasi matematika yang
lain. Semua tergantung basisnya.
Hal yang berbeda akan
terlihat jika operasi matematika tersebut telah diikat oleh dimensi ruang dan
waktunya. Misalnya, 2 buku ditambah 3 pensil itu tidak dapat dikatakan 5 buku atau
5 pensil. 2 buku ditambah 3 pensil akan menghasilkan 2 buku dan 3 pensil itu
sendiri karena operasi penjumlahan tersebut sudah terikat ruang dan waktu.
Lalu, bagaimana tinjauan
terhadap adanya berbagai sudut pandang tersebut dalam pembelajaran matematika? Pembelajaran
matematika berbeda dengan filsafat memandang matematika. Berbagai hasil yang
dihasilkan dari operasi matematika yang ditinjau menurut sudut pandang filsafat
tidak dapat diterapkan pada pembelajaran matematika di sekolah.
Pembelajaran
matematika di sekolah dengan objek peserta didik, secara umum memperkenalkan
operasi matematika dengan basis 10 dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Akan
menjadi tidak sopan terhadap dimensi ruang dan waktu apabila orang yang sedang
berfilsafat kemudian memberikan apa hasil berpikirnya kepada seseorang yang
berbeda dimensi ruang dan waktu. Peserta didik di sekolah mempunyai dimensi
ruang dan waktu yang berbeda dengan seseorang yang sedang mempelajari filsafat
karena keduanya mempunyai jarak pada dimensi ruang dan waktunya.
Apabila
jarak dimensi ruang dan waktu tersebut tetap diterjang oleh orang yang sedang
berfilsafat, maka akan terjadi disharmonis. Apa yang dipelajari dalam filsafat
tersebut akan terlihat aneh dan asing bagi peserta didik atau orang awam, walaupun
filsafat itu dapat dijelaskan secara ilmiah.
Ketidaksopanan
terhadap dimensi ruang dan waktu seseorang sering menjadi penyakit dalam orang
berfilsafat. Setiap penyakit akan memberikan dampak buruk bagi penderitanya. Begitu
juga dengan penyakit berfilsafat ini, akan memberikan dampak negatif pula. Dampak
negatif yang akan muncul yaitu adanya ketidakharmonisan antara apa yang dipikir
dan apa yang dilakukan. Akan lebih bijaksana apabila orang yang sedang
berfilsafat dapat memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang dengan
memperhatikan keragaman dimensi ruang dan waktu yang dimiliki masing-masing
orang.
Dalam
kehidupan sehari-hari, cara memandang hasil penyelesaian operasi matematika
dapat dianalogikan dengan prasangka terhadap orang lain. Apa yang terjadi pada
seseorang, pasti dikarenakan oleh sebab yang bermacam-macam. Kita seharusnya
dapat memahami apa yang terjadi pada orang lain secara bijaksana karena
terdapat berbagai cara atau tahapan seseorang dapat menjadi seperti itu. Oleh sebab
itu, jangan sampai kita terpaku pada satu sudut pandang saja dalam memandang
seseorang, karena ada dimensi ruang dan waktu yang mengikuti seseorang. Selain itu,
tempatkanlah apa yang hendak dilakukan sesuai dengan dimensi ruang dan
waktunya. Jangan sampai apa yang dilakukan tersebut justru membuat ketidakharmonisan
dengan orang lain.
~~0~~